Semakin Hari, Semakin Kejam

Semakin hari, rasa-rasanya diri ini menjadi semakin kejam.

Aku yang dulu, yang selalu memandang sesuatu seperti "memang apa salahnya menjadi baik? memang apa salahnya berbuat baik?" ternyata tidak semua orang memiliki pandangan yang sama denganku.

Aku memiliki beberapa teman yang mereka pikirkan hanyalah mengenai untung dan rugi saja, mengenai apa yang bisa kamu beri ketika aku memberimu, apa alasannya aku harus membantumu. Awalnya aku tidak mengerti kenapa ada orang yang bisa berpikiran harus timbal balik seperti itu. Bukankah menjadi baik itu membuat hati kita bahagia? Bukankah saat kita berhasil menolong orang, rasanya senang tiada tara? Bukankah ketika diri ini berguna, kita merasa bahwa hidup kita bisa bermanfaat untuk orang lain dan itu membahagiakan?

Dulu aku selalu beranggapan bahwa pada dasarnya sifat manusia itu baik, jadi ketika aku tersesat sekalipun, dalam keadaan susah sekalipun, jika aku berani minta tolong, aku memiliki keyakinan bahwa akan ada orang baik yang menolongku. Aku memiliki keyakinan bahwa segala tindakan baik kita, pasti akan dibalas dengan kebaikan pula oleh orang lain

Jawabannya ternyata tidak semua orang seperti itu dan mungkin dunia ini tidak bekerja seperti itu.

Pernah saat aku duduk di bangku SMP, aku selalu bawa buku paket tebal-tebal, teman sebangkuku, well dia lebih pandai dariku jarang membawa buku paket, tapi aku tetap membawanya untuk kita share berdua. Tapi sampai sekarang aku tidak tahu kenapa aku melakukan itu, merelakan diriku membawa buku tebal-tebal, padahal dia mendapatkan nilai yang lebih baik dariku haha

Pernah juga saat aku duduk di bangku SMA, aku selalu mengalah akan banyak hal kepada teman sebangkuku, seperti meminjami dia pulpen, duduk di barisan dekat guru dan dia yang jauh dari guru, dan hal-hal lainnya.

Bagiku selalu sama, jika kita berbuat kebaikan, maka kita akan dibalas baik pula dengan orang lain. Mungkin. Atau mungkin tidak? Atau mungkin iya, tapi kita tidak menyadarinya? Atau ada yang salah dengan konsep pemikiran ini?

Sampai suatu ketika, belum lama ini, aku dibenturkan dengan keadaan dimana aku harus menjadi kejam. Well, aku menjadi sebuah ketua dalam suatu organisasi dan aku dipaksa untuk tidak lunak dengan anggota-anggotaku yang banyak beralasan plus bantu mereka untuk tetap grow dengan target-target yang kubuat. Saat diatas, banyak banget tantangannya, banyak banget permintaan dari orang-orang yang awalnya aku gak deket, tiba-tiba deket dan minta tolong ini itu. Gak salah sih, cuma aku gak bisa menyenangkan semua orang. Ketika aku bisa membantu maka akan aku bantu, tapi ketika permintaanya bertentangan dengan kepentingan organisasiku, maka terpaksa aku mengabaikan itu. Awalnya sedih menjadi kejam, seperti tidak menjadi diri sendiri. Jackie, teman dari Amerikaku pernah menasihatiku, bahwa menjadi ketua tidak boleh takut konfrontasi, bahwa menjadi ketua tidak boleh merasa takut direndahkan orang lain, salah atau benar dalam pengambilan keputusan selama telah dipikirkaan matang-matang maka tidak masalah. Proses belajar itu yang mahal, bukan salah atau benarnya. 

Selama setahun itu aku belajar dan ditempa, mindsetku berubah total. Aku sempat kehilangan jati diri, aku sempat merasa aku bukanlah aku, aku sempat merasa aku pandai berkilah, aku pandai bersilat lidah meskipun tidak berbohong, hanya demi menolak halus orang-orang yang berusaha mendekatiku ketika aku di atas.

Setelah selesainya organisasi, tak lama setelahnya aku putus dengan mantan kekasihku. Alasannya complicated, karena perbedaan usia kami tidaklah sedikit, yaitu sekitar 8 tahun. Lalu ia dengan budaya Padangnya dan aku dengan budaya Jawaku. Aku dengan mimpi dan ambisiku untuk kerja di luar negeri, dia dengan terbenturnya realita ingin segera menikah dan meneruskan keturunan, desakan ibunya. Semua seperti tidak pas, semua seperti tidak tertakdirkan meskipun secara pribadi aku dan dia tidak memiliki masalah.

Namun setelah kami berpisah, mungkin 2 bulan, dengan lost contact 1 bulan lebih beberapa hari, tiba-tiba tersiar kabar ia menikah dengan perempuan lain, yang sebenarnya ini tidak mengejutkan bagiku karena ia pernah sampaikan bahwa ibunya ingin ia menikah dengan wanita pilihan ibunya.

Awalnya aku percaya.

Tapi kami terbiasa berbagi semua password bersama, saat aku sedang pasarah-pasrahnya dengan Allah, aku tidak sengaja membuka akun Amazon dia dan kutemukan bahwa beberapa kali ia membelikan wanita itu hadiah, HAHA. Berarti ia telah menjalin hubungan dengan wanita ini jauh sebelum hubungan kami berakhir. Sebenarnya bisa dipahami bahwa mungkin saja ia melakukan ini karena terpaksa, karena desakan ibunya yang meminta ia menikah dengan wanita pilihan ibunya. Tapi entah kenapa fakta bahwa dia berusaha membangun chemistry saat masih bersamaku itu menyakitkan.

Sungguh, aku menerima takdir Allah bahwa ia bukan untukku. Sungguh, aku percaya bahwa Allah memiliki rencana yang jauh lebih indah. Namun, aku tidak bisa berbohong, aku kecewa, secepat itukah dia move on? Setidak bermaknakah hubungan kita yang lalu?

Well butuh beberapa lama sampai aku menerima pada kesimpulan, semua masalah waktu.

Kami memang tidak ditakdirkan bersama, masalah ia menikah bulan ini, bulan depan atau bahkan tahun depan sepertinya tak masalah, toh ia tetap bukan jodohku kan. Toh aku tetap harus move on kan? Semua hanya masalah waktu. Mungkin terlalu cepat, tapi tidak salah karena memang kami sudah tidak bersama.

Hal yang masih sulit untukku berdamai adalah efeknya.

Jika ditanya aku ikhlas, mungkin aku bisa menjawab aku sudah ikhlas, sungguh, aku berdoa yang terbaik untuk rumah tangga mereka, aku tidak ingin mengganggunya.

Tapi tubuhku ini memiliki batasnya, tiap kali aku teringat dia, aku selalu mual, beneran yang muntah gitu. Tiap kali aku teringat seorang pria yang pernah berusaha mendekatiku, aku selalu teringat akankah ia pada akhirnya sama saja, meninggalkanku kala bosan? Menduakanku kala ada yang lebih baik?

Jujur saja, efek ini sangat membekas untukku, semakin hari rasanya aku semakin kejam, dengan segala tanya di kepalaku. Semakin hari aku semakin kejam, dengan segala ragu yang selalu terselip. YaAllah, aku telah kehilangan diriku yang dulu, yang berbuat hanya berfikir akan kebaikan, yang takut ketika berbuat jahat karena pasati akan dibalas kejahatan pula.

Lalu setelah melalui banyak rintangan kehidupan, apakah aku salah bahwa sistem tabur tuai itu sebenarnya diragukan keabsahannya? Terkadang aku tidak bisa membedakan yang mana efek dari tingkahku dan yang mana ia akan mendapatkan efek dari tingkahnya. Terkadang aku berharap di dunia ini ada sistem hukuman di luar hukum negara, yang tak kasat, seperti karma.

Tapi aku hanya bisa pasrah. "YaAllah YaJAbbar, Kau Maha Perkasa. Aku pasrahkan semuanya kepadaMu. Aku pasrahkan hidupku kepadaMu. Engkau pemilik alam semesta ini, Engkau satu-satunya yang mampu mebolak-balikkan hati hambaMu, maka tolonglah aku, YaRabb, aku hanya punya Engkau. Balasanmu lebih adil, balasanmu lebih setimpal." setidaknya itu doa yang selalu aku langitkan, berharap akan keadilan dariNya. Berharap bahwa setiap perlakuan dan niat baik, akan kembali pada diri kita. Begitu pula sebaliknya, Setidaknya aku berharap begitu dan tanpa putus doa. Jika memang Allah belum kabulkan, tidak masalah. Selama aku tidak kehilangan Allah, maka aku merasa cukup, InshaAllah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Balik sama temen kelas 10 di kelas 12.

This...